USIA satu abad yang diemban Lembaga Sensor Film (LSF) di Indonesia mempunyai banyak perjalanan yang menarik. Salah satunya mengenai perubahan paradigma
yang berlaku dalam Lembaga Sensor Film (LSF) sebagai konsekuensi amanah
UU No. 33/2009 tentang Perfilman.
Sebagaimana diketahui UU No.33/2009 merupakan dasar hukum keberadaan LSF. UU ini juga memuat dan mengatur antara lain prinsip dan pelaksanaan penyensoran film. Pasal 60 UU 33/2009 menyebutkan:
Ayat (2): Lembaga sensor film melaksanakan penyensoran berdasarkan prinsip dialog dengan pemilik film yang disensor.
Ayat (3): Lembaga sensor film mengembalikan film yang mengandung tema, gambar, adegan, suara, dan teks terjemahan yang tidak sesuai dengan pedoman dan kriteria sensor sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) kepada pemilik film yang disensor untuk diperbaiki.
Prinsip dan
ketentuan penyensoran seperti tertuang dalam pasal 60 ayat (2) dan (3)
tersebut pada dasarnya sejalan dengan yang saat ini berlaku di Amerika
Serikat dan berbagai negara lainnya.
Di Amerika Serikat lembaga sensor
kini bukan lagi lembaga yang dapat menghilangkan adegan atau bagian
tertentu dari sebuah film, atau bahkan menolak sebuah film, sebagaimana
yang dilakukan pada masa awal kelahiran lembaga ini di Amerika Serikat
tahun 1909.
Lembaga sensor kini bekerja untuk melakukan klasifikasi
berdasarkan usia penonton atau dikenal dengan istilah rating system.
Pada film tidak diberlakukan revisi atau pemotongan, masyarakat
dituntut secara sadar untuk mampu memilih film sesuai klasifikasi usia
yang sudah ditentukan oleh lembaga sensor.
Seperti juga di
Amerika Serikat, perubahan sistem penyensoran juga terjadi di Indonesia.
Tetapi berbeda dengan Amerika Serikat, lembaga sensor di Indonesia
melaksanakan pengklasifikasian film, dan sekaligus dapat mengajukan
revisi terhadap film. Revisi tersebut dilakukan sendiri oleh pemilik
film, bukan oleh lembaga. Yang berbeda lagi, kegiatan ini di Indonesia
dilakukan oleh lembaga pemerintah, di Amerika dilakukan oleh badan
independen yang dikelola komite industri.
Di sebagian besar negara yangmenganut sistem klasifikasi seperti juga Indonesia, film yang diperkirakan memiliki muatan yang tidak sesuai moral akan disensor, diberi batasan atau ditolak.
Pada hakikatnya pemberian klasifikasi
semata, tidak memiliki konsekuensi legal, di mana film tidak akan
secara eksplisit dibatasi atau ditolak. Tetapi kemudian hukum negaralah
yang melarang atau masyarakat yang menolak. Berbagai faktor khusus yang
mempengaruhi keputusan klasifikasi, sangat beragam di setiap negara.
Sebagai contoh di Amerika Serikat, film dengan konten seksual yang kuat
seringkali diklasifikasi untuk tontonan dewasa terbatas, tetapi tidak di
Prancis dan Jerman. Sebaliknya film dengan muatan kekerasan yang kuat
ditolak di Jerman dan Fiilandia tetapi diterima di Amerika Serikat.
Kondisi di Negara-negara Asia Tenggara
Kondisi di Negara-negara Asia Tenggara
Dari aspek kelembagaan hampir seluruh lembaga sensor di negara-negara
Asia Tenggara merupakan lembaga bentukan pemerintah atau lembaga
negara. Lembaga Sensor Brunei Darussalam berada di bawah Censorship
Ministry dan hanya menyensor film. India, memiliki lembaga sensor
Central Boards of Film Certifications yang berada di bawah Ministry of
Information and Broadcasting yang menyensor film dan program TV
(kecuali berita dan siaran langsung).
Di Kamboja lembaga sensor
merupakan badan yang berada di bawah Ministry of Information dan
menangani sekaligus program TV selain film. Kegiatan penyensoran
Malaysia berada di Film Censorship Boards (Lembaga Penapis Filem
Malaysia) yang bernaung di bawah Ministry of Home Affairs.
Movie
and Television Review and Classification Board adalah lembaga sensor
negara Philiphina di mana tidak hanya film layar lebar, tetapi lembaga
ini juga menyensor dan memantau program TV dan home video.
Lembaga
Sensor Singapura bernama Media Development Authority Singapore (MDAS)
yang tidak hanya menyensor film seperti di Philiphina, namun lebih luas
lagi, lembaga ini memantau dan menyensor fim dan video, pertunjukkan
seni, program televisi dan radio, publikasi dan materi audio, video
games, video on demans dan internet.
Lembaga sensor Thailand bernama
Board of Film & Video Censors, lembaga independen dengan anggota
yang terdiri atas anggota Royal Police Thai dan Ministry of Culture
serta dewan penasehat dari perwakilan agama Budha, pendidik, dan
komunitas kesehatan. Di Vietnam, lembaga negara yang menangani
penyensoran bernama Vietnam Cinema Departement.
Yang menarik, ada negara yang tidak menggunakan kata sensor pada nama lembaganya, contohnya Singapura - Media Development Authority. Kemudian India lebih menekankan pada penggunakan kata Film Certification dan Vietnam pada kata Cinema. Philiphina bahkan menggunakan istilah yang halus namun tegas Review and Classification Boards.
Klasifikasi Usia
Seperti halnya di Indonesia, hampir seluruh negara di Asia Tenggara juga menggunakan prinsip klasifikasi. Namun demikian pada kenyataannya tetap ditemukan perbedaan klasifikasi. Apa saja perbedaan tersebut? Mari kita lihat tabel berikut:
1. Klasifikasi Usia Anak
Setiap
negara memiliki simbol-simbol yang berbeda dalam memberi kode
klasifikasi usia. Ada negara yang menggunakan huruf, angka, gabungan
angka dan huruf dan juga kata. Secara umum pembagian klasifikasi usia di
sembilan negara dapat dikategorikan sebagai anak, remaja, dewasa dan
khusus.
Pengklasifikasian tontonan anak, negara Brunei dan
Kamboja mempunyai pandangan yang paling berbeda. Brunei menggabung usia
anak dan remaja dalam satu kategori yaitu All. Sementara Kamboja
menempatkan anak dalam dua kategori klasifikasi yaitu G atau General
tontonan untuk semua usia dan Children tontonan untuk anak usia 0 hingga
12 tahun.
India memiliki klasifikasi U/A yang artinya tontonan untuk semua usia di mana anak usia di bawah 12 tahun dengan bimbingan orangtua. Sementara secara umum di negara lainnya, film anak terklasifikasi pada kode tontonan SU/ Semua Umur dengan penekanan pada anak (Indonesia), U/Umum (Malaysia), GP/General Patronage (Philiphina), G/General (Singapura dan Thailand), serta P/All Ages ( Vietnam).
2. Klasifikasi Usia Remaja
Pada ranah remaja, muncul tiga kelompok usia 13, 15 dan 16 tahun, di
mana Brunei dan India tidak memberikan detil klasifikasi peruntukan
remaja. Di tujuh negara lainnya, selain Brunei dan India, semuanya
memiliki kode untuk usia 13 tahun.
Di negara Kamboja, Malaysia,
Philiphina, Singapura usia 13 ditambahkan kode PG (Parental Guidance),
khusus Malaysia berkode P, yang semuanya memiliki arti anak di bawah
usia 13 tahun harus dengan bimbingan orangtua. Untuk usia 13 tahun ke
atas, Thailand memiliki kode tayangan 13+. Selain itu Thailand juga
memilki kode klasifikasi 15+ yang artinya hanya dapat ditonton anak usia
15 tahun ke atas.
Selanjutnya Philiphina, Singapura dan Vietnam
sama-sama memilki kode klasifikasi usia 16 tahun. R16 di Philiphina dan
NC16 di Singapura memiliki arti hanya dapat ditonton usia 16 tahun atau
lebih, demikian juga dengan kode C16 Vietnam, tidak untuk usia di
bawah 16 tahun.
3. Klasifikasi Usia Dewasa
3. Klasifikasi Usia Dewasa
Secara umum dapat
disimpulkan bahwa batas usia dewasa yang dianut di sebagian besar
negara adalah 18 tahun. Kode A di negara India, diartikan sebagai
tontonan terbatas untuk usia di atas 18 tahun. Hanya di Indonesia yang
mengkategorikan usia 17 tahun ke dalam wilayah Dewasa.
Untuk usia
18 tahun ini, beberapa negara memiliki regulasi yang juga berbeda.
Kamboja tetap menyematkan kode PG (Parental Gudance) pada usia ini yang
memiliki arti perlu bimbingan orangtua. Sementara untuk Philiphina (R18/
Deprecated 18), Singapura (M18/Mature 18), Thailand (18+) dan Vietnam
(C18) memiliki definisi hanya untuk usia 18 tahun ke atas
Khusus
negara Malaysia, pada kode 18 tahun dirinci kembali secara detail konten
film di mana secara umum penonton usia di bawah 18 tahun harus
didampingi orang dewasa. Kode-kode pada usia 18 tahun tersebut adalah
18SG (Seram, Ganas, lilterally Ghrapic Violence and Horror/Tennor), 18SX
(Sex, literally Sexual Content), 18PA (Politik, Agama, literally Strong
Religious or Political Element), 18PL (Pelbagai, literally Variety)
pada klasifikasi 18PL sebuah film dapat mengandung materi kekerasan,
kengerian/seram, horor, seks, ketelanjangan, aspek religi, sosial dan
juga politik.
Masih di ranah dewasa, Indonesia dan Singapura
sama-sama memiliki klasifikasi usia 21 tahun, di mana definisinya adalah
sama, untuk usia 21 tahun ke atas. Hampir serupa dengan Singapura dan
Indonesia, Thailand memiiki kode 20+ untuk menegaskan batas usia konten
yang mengandung materi dewasa. Sementara Kamboja, memiliki satu kategori
yang disebut Adult yang diperuntukan mengklasifikasi materi dewasa.
Hal-hal Khusus
Hal-hal Khusus
Selain klasifikasi secara kelompok usia, beberapa negara memiliki
instrumen untuk memberi kode dan klasifikasi pada filmfilm yang
dipertunjukkan secara khusus, India misalnya memiliki klasifikasi S yang
berarti hanya dipertunjukkan secara khusus, misalnya profesi
kedokteran, kemudian Philiphina memiliki klasifikasi X yang artinya
pertunjukan terbatas.
Lalu Thailand memiliki klasifikasi P
(Promotional/Education) yaitu film yang bersifat edukasi dan
dipertunjukan khusus untuk membangun nasionalisme masyarakat Thailand.
Thailand juga memiliki kode Banned yaitu tontonan yang tidak dapat
dipertunjukan secara umum di wilayah kerajaan.
Negara Singapura memilki kode PG di mana kode ini dapat disematkan di semua usia yang memang diperkirakan perlu bimbingan orangtua, serta NAR. NAR merupakan rambu rujukan yang menuangkan indikator penilaian materi film, dalam NAR diberikan rincian halhal yang menjadi perhatian secara umum.
Unsur Penilaian
Mencermati perbedaan dalam upaya mengklasifikasi tontonan tentunya
tidak lepas dari perbedaan dalam merumuskan setiap faktor yang
mempengaruhi penilaian sebuah tayangan. Berikut akan disajikan dalam
bentuk tabel, temuan berbagai unsur yang dianggap penting oleh beberapa
negara. Indonesia tidak dimasukan dalam tabel ini karena pedoman
penyensoran masih dalam proses finalisasi.
Dari tabel di atas, terlihat bahwa ada beberapa unsur serupa yang digunakan oleh hampir semua negara dalam mengambil keputusan klasifikasi usia yaitu tema, konten dan dampak. Malaysia, Singapura dan Thailand bahkan memasukan unsur atau elemen agama.
Dari tabel di atas, terlihat bahwa ada beberapa unsur serupa yang digunakan oleh hampir semua negara dalam mengambil keputusan klasifikasi usia yaitu tema, konten dan dampak. Malaysia, Singapura dan Thailand bahkan memasukan unsur atau elemen agama.
India, Malaysia, Philiphina,
Singapura, Thailand dan Vietnam memasukan level bahasa, kekerasan,
seks/ketelanjangan, penggunaan obat-obatan (drug) dan diskriminasi.
Malaysia, Singapura dan Thailand memasukan juga level perjudian. Untuk
level horor teridentifikasi negara Malaysia, Philiphina, Singapura dan
Vietnam memasukannya sebagai salah satu unsur penilaian.
Dari
delapan negara tersebut, Singapura yang secara tegas memasukan konteks
dan tone sebagai dasar penentuan klasifikasi sebuah film, sesuai dengan
acuan yang mereka gunakan yaitu British Boards of Film Classification
(BBFC).
Malaysia mempertimbangkan juga konteks film namun kaitannya
dengan level seks/ ketelanjangan, agama dan dampak untuk penganut Islam,
mereka tidak memberi ijin sama sekali. Sementara Vietnam tidak secara
jelas menyebutkan tone seperti juga Malaysia, namun memperhatikan
konteks seperti halnya yang dilakukan Singapura dan Malaysia, pedoman
kriteria Vietnam sendiri mengacu pada BBFC dan MDA Singapura.
Bagaimana di Indonesia? Aspek apa saja yang akan menjadi pertimbangan terkait paradigma baru Lembaga Sensor Film? Apakah Indonesia akan menggunakan juga konteks dan tone seperti halnya di Singapura? Apakah agama juga menjadi pertimbangan khusus seperti Malaysia? Kita tunggu karena semua hal tersebut sedang dalam proses penyelesaian.
*** dikutip dari : lsf.go.id
0 komentar:
Posting Komentar