BERLEBIHAN kah menurut Anda sensor yang dilakukan oleh TV nasional kita saat ini? Masih ingat kehebohan sebuah robot disensor pada bagian vitalnya di sebuah program televisi? Atau mungkin Anda yang menonton film Dilwale yang tayang perdana SCTV kemarin sempat tercengang karena seluruh adegan action yang menampilkan senjata di blur tanpa ampun?
Lebih lucunya lagi, adegan sebuah kartun seperti Doraemon yang menampilkan karakter Shizuka berbikini juga disensor. Begitupun dengan kartun Spongebob Squarepants, dimana karakter Sandy si tupai darat juga disensor.
Kami salah satu yang kurang setuju akan tindakan sensor internal berlebihan yang dilakukan oleh TV kita. Namun mereka tak sepenuhnya salah, ketakukan akan mendapatkan 'surat cinta' dari Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tentu jadi dilema besar. Lantas apakah kebebesan beekspresi pekerja TV dikekang?
KPI tak sepenuhnya mau disalahkan tentang hal ini. Mereka menganggap jika mereka hanya mengawasi di bagian ujung setelah program acara disiarkan oleh televisi.
Hardly Stefano,
Komisioner KPI Pusat Koordinator Bidang Pengawasan menegaskan bahwa sensor bukanlah
tugas dan wewenang dari KPI.
“Kami hanya mengawasi di bagian ujung
setelah program acara disiarkan oleh televisi. Rupanya ada ketakutan dan
pengalaman traumatik lembaga-lembaga penyiaran. Di sebuah stasiun
televisi robot pun sampai disensor,” tutur Hardly seperti dilansir dari laman resmi KPI pusat.
Dalam diskusi “Dilema Sensor di Televisi Indonesia: E(STE)TIKA”, (17/1)
yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia hadir sejumlah pembicara seperti Haryatmoko (pakar etika komunikasi dari
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta), Gilang Iskandar (Sekretaris
Korporat Indosiar), dan Ade Armando (Dosen Ilmu Komunikasi UI).
Haryatmoko berpendapat bahwa pendidikan media literasi harus segera
dicanangkan dalam kurikulum. Dia memberikan contoh pada sekolah-sekolah
di Yogyakarta yang memberikan pendidikan media literasi pada murid-murid
SD. Menurutnya, daripada menerapkan sensor yang berlebihan, sebaiknya
menggiatkan media literasi. Sehingga audiens paham tentang realitas yang
sebenarnya dari apa yang muncul di layar kaca.
Sementara itu Gilang Iskandar
menjelaskan latar belakang terjadinya penyensoran dan pembluran dalam
tayangan Puteri Indonesia di Indosiar.
“Baju yang digunakan finalis
Puteri Indonesia tidak didisain untuk muncul di televisi”, ujar Gilang.
Pihaknya sangat paham sekali bahwa aturan di televisi memang sangat
ketat, sehingga diambil langkah pembluran tersebut guna menghindari
adanya pelanggaran P3SPS. Selain itu, Gilang juga membenarnya adanya
pemahaman yang berbeda-beda terkait P3SPS di kalangan stasiun televisi.
Belum lagi, ancaman pencabutan izin penyelenggaraan penyiaran juga
dijadikan pertimbangan yang sangat serius guna keberlangsungan bisnis
televisi ke depan.
Pada kesempatan diskusi tersebut dosen
Ilmu Komunikasi UI, Ade Armando menjelaskan tentang kebebasan
berekspresi yang ternyata mempunyai batasan. Menurut Ade, pembatasan
tersebut tergantung pada media apa yang digunakan dalam penyebarannya.
Yang jelas, ujarnya, seluruh dunia juga paham bahwa televisi sangat
“highly regulated”, diatur sangat ketat. Dirinya mengakui bahwa sensor
bukanlah sesuatu yang dengan sendirinya buruk. Namun over-censorship,
menurutnya berpotensi berbahaya ke depan.
Ade memaparkan bagaimana regulator
penyiaran di negara sebesar Amerika Serikat bersikap sangat tegas
terhadap pelanggaran aturan penyiaran. Karenanya Ade berpendapat,
daripada ada sensor, jauh lebih baik jika KPI bersikap lebih tegas.
Dirinya memaklumi jika KPI mengeluarkan ancaman lewat perpanjangan IPP,
agar stasiun televisi tidak terus menerus lakukan pelanggaran. “Kepada
seluruh pengelola televisi, dengan segenap hormat pada kebebasan
berekspresi, tolong Behave!” pintanya.
Beberapa pertanyaan disampaikan
mahasiswa terkait regulasi penyiaran, diantaranya soal sensor wujud
rokok dan masih adanya iklan rokok di televisi. Mahasiswa juga bertanya
mengapa moral panic industri televisi hanya ada pada masalah sensor
semata. Padahal keluhan masyarakat dan juga concern KPI bukan hanya soal
sensor, ada masalah kekerasan di televisi, kualitas sinetron,
infotainment dan lain-lain. Mahasiswa mempertanyakan, kenapa industri
tidak menyikapi seperti halnya sensor internal yang berlebihan itu.
Menanggapi pertanyaan tersebut, Hardly
menyampaikan bahwa concern KPI sebenarnya lebih jauh dari sekedar
sensorship.
“Concern kami justru pada nilai-nilai (value) apa yang
dibawa stasiun televisi pada setiap program siaran?” papar Hardly.
Hal
ini dilakukan dengan meminta lembaga penyiaran untuk senantiasa mematuhi
P3SPS. Selain itu KPI juga berupaya membangun dialog dengan industri,
agar peringatan maupun teguran yang disampaikan melalui surat tertulis
dapat dimaknai secara kontekstual. Sehingga layar kaca tidak selalu
dipenuhi dengan muatan kekerasan, pornografi, hedonistic, dan
nilai-nilai negatif lainnya, sebaliknya dapat menyampaikan inspirasi
positif kepada pemirsa.
Well, sudah seharusnya jika KPI menegaskan batasan apa yang tak boleh dilanggar dengan lebih spesifik. Misalnya, apakah badan robot sebenarnya boleh ditayangkan full atau tidak tanpa sensor serta berbagai hal lainnya. Sehingga pihak TV menjadi tak parno dengan hal-hal seperti itu sehingga menimbulkan polemik untuk penonton.
Apa gunanya ada label BO, SU, hingga Dewasa yang kerap ditampilkan di setiap program TV. Sudah seharusnya, pengawasan ini dipercayakan pada keluarga penonton yang bisa memilah tayangan mana yang baik dan tidak.
0 komentar:
Posting Komentar